RUU POLRI
Peluang atau Ancaman?
Latar Belakang
Seiring dengan meningkatnya kejahatan terorganisir dan ancaman di ruang siber, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Baleg DPR RI) mengusulkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri).
RUU tersebut bertujuan untuk memberikan kewenangan lebih kepada Polri dalam melakukan pengawasan dan penindakan terhadap aktivitas kriminal yang semakin berkembang dan lebih modern. Hal ini dilakukan untuk memperkuat peran Polri dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Namun, adanya penambahan kewenangan baru, seperti pengawasan ruang siber dan penyadapan, menimbulkan kontroversi. Banyak pihak merasa khawatir bahwa perluasan wewenang ini dapat mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), serta mengancam prinsip-prinsip demokrasi. Tak hanya itu, kritik juga muncul terkait potensi penumpukan kekuasaan di tangan Polri yang dapat menimbulkan konflik dengan lembaga lain.
Kewenangan Baru yang diusulkan
Keterangan
1. Pengawasan dan Pembinaan Ruang Siber
Pemberian kewenangan kepada Polri untuk mengawasi dan memblokir konten di ruang siber dalam hal ini mencakup kemampuan untuk memutus akses ke konten digital yang dianggap merugikan keamanan. Hal ini tertuang di Pasal 14 ayat (1) huruf b dan Pasal 16 ayat (1) huruf q yaitu Polisi dapat melakukan kegiatan pembinaan, pengawasan, dan pengamanan di ruang siber secara penuh. Selain itu, aparat bisa melakukan penindakan, pemblokiran, atau pemutusan, hingga memperlambat akses ke ruang siber untuk tujuan “keamanan”.
Ketentuan ini menjadi dasar kekhawatiran masyarakat karena adanya potensi peningkatan kewenangan yang dianggap dapat mengganggu privasi dan hak-hak individu. Adapun mekanisme dan kriteria untuk pemblokiran yang belum jelas juga menjadi potensi penyalahgunaan untuk membungkam kritik dan membatasi kebebasan berekspresi.
2. Perluasan Kewenangan Intelkam
RUU Polri akan memperluas kewenangan intelijen dan keamanan (Intelkam) yang dimiliki oleh Polri sampai melebihi lembaga-lembaga lain yang mengurus soal intelijen. Dalam Pasal 16A dijelaskan bahwa Polri berwenang untuk melakukan penggalangan intelijen. Hal tersebut merupakan tindakan untuk memengaruhi sasaran dengan tujuan mengubah perilaku atau tindakan sesuai dengan keinginan dari pihak yang melakukan penggalangan.
Adapun Pasal 16B RUU Polri juga mengatur perluasan terhadap kewenangan Intelkam dengan memperbolehkan Intelkam Polri melakukan penangkalan dan pencegahan terhadap kegiatan tertentu guna mengamankan kepentingan nasional. Namun, pemerintah sendiri tidak memberikan definisi dan penjelasan mengenai istilah “kepentingan nasional” yang dimaksud sehingga memungkinkan Polri untuk mengawasi setiap kegiatan warga negara yang bersuara kritis terhadap pemerintah atau siapapun dinilai perlu diawasi karena alasan “gangguan keamanan” tanpa adanya batasan yang jelas.
3. Penyadapan
RUU juga memperluas kewenangan intelijen Polri, jadi memungkinkan mereka untuk melakukan penyadapan dalam konteks keamanan. Pasal 14 ayat (1) huruf o memberikan Polri kewenangan untuk bebas melakukan tindakan penyadapan. Aturan ini dapat menyebabkan ketimpangan dengan kewenangan serupa yang dimiliki oleh lembaga penegak hukum lainnya seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) sendiri mengatur bahwa penyadapan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pengawas KPK, sementara RUU Polri tidak mengharuskan anggota Kepolisian untuk mendapatkan izin jika ingin melakukan penyadapan. Selain itu, Indonesia juga belum memiliki peraturan perundang-undangan yang jelas mengenai penyadapan.
Adapun pendapat menurut Bambang Rukminto, seorang pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) yang menyoroti bahwa penambahan kewenangan ini dapat meningkatkan kecemasan masyarakat terkait privasi dan potensi penyalahgunaan informasi pribadi yang akan dilakukan oleh aparat Polri.
Ancaman
Peluang
Dari sisi positif, penambahan kewenangan ini menjadi langkah untuk memperkuat kapasitas Polri dalam menghadapi tantangan keamanan modern. Dengan kemampuan untuk mengawasi ruang siber, Polri diharapkan dapat lebih efektif dalam mencegah kejahatan siber dan menjaga ketertiban umum.
Kewenangan baru dalam RUU Polri dapat dianggap sebagai ancaman bagi keamanan nasional karena potensi penyalahgunaan wewenang, tumpang tindih kewenangan, kurangnya mekanisme pengawasan, dan minim urgensi dalam beberapa aspek. Selain itu, banyak pihak mengkhawatirkan bahwa perluasan kewenangan akan menjadikan Polri sebagai "superbody" yang tidak terkontrol. Tanpa mekanisme pengawasan yang kuat, ada risiko tinggi bahwa kewenangan baru ini akan disalahgunakan untuk kepentingan politik atau melanggar HAM.
Masalah Pengawasan
Sistem pengawasan terhadap tindakan Polri saat ini dianggap sangat lemah. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk melakukan pengawasan yang efektif terhadap Polri. Hal ini menambah kekhawatiran bahwa RUU Polri tidak hanya akan memperluas kekuasaan, tetapi juga meningkatkan rasa ketidakadilan bagi anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran hukum.
Respons Masyarakat
Masyarakat sipil telah menyuarakan penolakan terhadap beberapa substansi dalam RUU ini. Banyak yang khawatir bahwa revisi ini akan memundurkan agenda reformasi yang telah dicapai selama 2 (dua) dekade terakhir. Penolakan ini mencerminkan keinginan untuk memastikan bahwa kedua institusi tersebut tetap berfungsi sesuai dengan prinsip demokrasi dan HAM.
Kesimpulan
RUU Polri membawa peluang untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum dalam menghadapi tantangan keamanan modern. Namun, potensi ancaman terhadap demokrasi dan hak asasi manusia sangat nyata jika tidak disertai dengan mekanisme pengawasan yang kuat. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan masukan dari masyarakat sipil dan memastikan bahwa setiap perubahan dalam undang-undang tidak hanya berfokus pada peningkatan kewenangan tetapi juga pada perlindungan HAM dan akuntabilitas instansi kepolisian. Dialog terbuka dengan publik sangat diperlukan untuk mencapai keseimbangan antara keamanan nasional dan perlindungan kebebasan individu.